Selasa, 12 Juni 2012

Budaya Gita - India


Budaya India didasarkan pada Bhagawad Gìtà


Kepercayaan Pada Ketidakterikatan

Intisari dari budaya yang sesungguhnya bersandar pada keberadaannya, didasarkan pada pengertian spiritual dari nilai-nilai dan suatu pandangan pada kehidupan. Pernyataan tentang ke-Tuhan-an yang utama dari manusia merupakan jantung dari budaya India. Peradaban India bersandar pada pembersihan bathin, pada pemeliharaan dan pembentangan percikan spiritual dalam diri manusia. India merupakan tanah spiritualitas dan aspirasi dari setiap orang India yang sesungguhnya adalah untuk àtma-swaràjya atau kemerdekaan dalam ke-Tuhan-an yang tertinggi dari sang diri yang dapat dicapai melalui penaklukan sifat-sifat dalam dan luar, di situ realisasi diri merupakan tujuan dari rakyat India. Bhagawad Gìtà merupakan satu naskah suci universal dan ia merupakan pernyataan sesungguhnya yang jelas dari warisan budaya asli bangsa India. 


Gìtà merupakan kepercayaan akan ketidak-terikatan, kekekalan jìwa dan kemerdekaan akhir dari sang diri dalam kemutlakan. Ia merupakan ajaran-ajaran sakral tentang semua hal termasuk kebatinan dari jìwa. Keharusan akan ketidakterikatan mengikuti dari kenyataan tentang kesatuan keberadaan. Úrì Kåûóa menyatakan bahwa tidak ada keberadaan lain yang kedua dari padanya. (V11.7). Kebenaran menjadi satu kesatuan hidup dan keterikatan terhadap wujud luar, nyata-nyata berarti menggantungkan pada kepalsuan dan pelanggaran akan kebenaran, sehingga hasil yang tak terhindarkan dari padanya adalah kesengsaraan. “Kenikmatan yang berasal dari hubungan duniawi hanya merupakan sumber penderitaan” (V.22). Anaúakti menandai jiwa dari penolakan yang sebenarnya dan aktivitas yang benar dan tidak membelenggu si pelaku terhadap hasilnya. Budaya yang sesungguhnya cenderung menuju kebebasan dan hal itu merupakan kemuliaan dari para Waskitawan India yang dengan kebijaksanaannya dalam merealisir kebebasan dari sang diri abadi di dalam dan menyatakan kebenaran ini pada dunia.

Ketiadaan keinginan dan kedamaian batin menandakan penggambaran pembedaan dari budaya India. Pengetahuan yang mencirikan budaya yang sesungguhnya bukan hanya pelajaran tetapi juga kebijaksanaan dengan suatu latar belakang etika, yang keluasannya untuk mana seseorang telah berhasil dalam disiplin moral, menunjukkan kualitas dari pengetahuannya. Pengetahuan tidak berakhir hanya dengan pemahaman, tetapi memuncak pada perwujudan kebenaran hidup yang terdalam. Budaya kehidupan semacam itu tak akan mungkin tanpa kemerdekaan dari prasangka serta keterikatan dalam pikiran dan perbuatan. Seperti orang bodoh yang bekerja, terikat pada kegiatan tersebut, demikianlah seharusnya orang bijak bekerja tanpa keterikatan, dengan pandangan untuk meningkatkan kesejahteraan alam dunia ini”. (11125).

Kelepasan sepenuhnya tak akan mungkin tanpa pengetahuan tentang ketidaknyataan terakhir dari benda-benda yang biasanya muncul dalam hubungannya dengan dan yang berbuat seperti penyebab keterikatan terhadapnya. Pikiran orang India telah mendapati kesalahan-kesalahan dalam pandangan lumrah dari kehidupan, yang dianggap oleh mereka yang memberikan pada bisikan pikiran dan indriya dan telah membawanya pada pan­dangan kenyataan dari kesementaraan kehidupan physik di tengah-tengah obyek-obyek indriyani. Semua filsafat mulai dari kesadaran tentang penderitaan dan kesakitan serta ketidakseimbangan kehidupan dalam dunia indriya. Para wiweki mencari pembebasan dari pemenjaraan dalam kehidupan duniawi dan tidak memakukan keyakinannya pada hal-hal yang dapat lenyap. Gìtà menunjukkan bahwa dunia ini adalah ‘Anityam’, ‘Asukham’, ‘Duákhalayam’ dan ‘Aúàúwatam’. Bila pembedaan ini turun pada diri seseorang, ia menjadi tanpa keinginan dan tidak terikat pada apa pun juga.

Kesempurnaan Tuhan di dalam memperlihatkan kekerdilan dari kehidupan luar dan si pencari kesempurnaan tidak menggantungkannya pada penampakan yang cepat berlalu. Budaya di India adalah synonim dengan mekarnya kecakapan akan kesadaran agama dan spiritual tanpa itu manusia sangat sedikit keunggulannya terhadap makhluk-makhluk yang hanya mengandalkan naluri saja. Gìtà memerintahkan penolakan dari kepercayaan pada dan menginginkan bentuk-bentuk luar, dan memperingatkan bahwa tak seorang pun yang ingat akan kedamaian abadi akan berpikir dan berbuat dengan motif kepentingan sendiri atau dengan suatu gejala tertentu yang akhirnya tampak “Mantapkanlah dalam yoga, laksanakan kegiatan, lepaskan keterikatan’.

Jadi untuk berbuat, tanpa ‘Saòga’ dan untuk menyatakan ke dalam de­ngan Tuhan, walaupun sedang berbuat di dunia ini, adalah apa yang ditekankan Gìtà sebagai seni kehidupan yang benar dan jalan menuju kedamaian baik di sini maupun di dunia sana. Setiap usaha yang dipakai untuk menuju pencapaian akhir ini memiliki pengaruhnya sendiri yang tak dapat dibasmi. ‘Tak ada usaha yang di sia-sia di sini atau pun hasil yang berlawanan. Walaupun sedikit (pelaksanaan) dharma ini akan melepaskannya dari kengerian yang hebat (11.40). Tak ada usaha yang sia-sia; Setiap usaha akan membawa pada suatu penyesuaian akibat, karena sang roh adalah abadi.


Kekekalan Dari Jìwa

Kebenaran utama yang dipegang orang-orang India dan yang tak pernah mereka lupakan atau tidak mempercayainya adalah kekekalan dari roh dan kelanjutan kehidupan sesudah kematian. Gìtà, pada awal sekali menjelaskan bahwa Àtman tak dapat di hancurkan. ‘Ketahuilah yang tak dapat dihancurkan ini, menyusupi segalanya, tak seorangpun dapat memusnahkannya, yang tak termusnahkan. Ia tidak dilahirkan dan tidak akan pernah mati; juga setelah ada tak akan berhenti adanya; tak terlahirkan, abadi, kekal selamanya, ia tak akan terbunuh walaupun badan terbunuh’ (II. 17.20). Tak ada sesuatu apa pun yang lebih mulia daripada pengakuan tentang kenyataan yang tertinggi ini. 

Pe­ngetahuan yang menyelamatkan ini benar-benar nafas kehidupan bangsa India, penghibur umat manusia dan perwujudan dari yang mutlak dalam wujud Úrì Kåûóa menyabdakannya kepada Arjuna yang merupakan wakil umat manusia itu sendiri. Budaya India diresapi seluruhnya dan dipengaruhi langsung oleh kepercayaan yang tak tergoyahkan pada kekekalan dan ke-ilahi-an jiwa pada manusia. Bagi orang-orang Hindù dunia pengalaman empiris itu tidak nyata adanya, tetapi Àtman atau Brahman adalah realitas. Mereka tidak memiliki kepercayaan pada alam yang tidak tetap ini, tetapi mereka percaya sepenuhnya pada keberadaan abadi. 

Tuhan-lah yang menjadi tujuan mereka dan alam dunia ini hanyalah suatu pelaluan atau satu tahapan, hanya satu cara dan bukan akhir dari pengalaman. Gìtà merupakan amanat dari kehidupan transenden, yang di dalam dirinya terangkum seluruh alam semesta yang tampak pada suatu sinar yang sama sekali baru. Setiap pribadi dapat memiliki pengalaman ini, walaupun orang-orang kejam dan berdosa sekalipun, memiliki harapan untuk itu. 

“Bahkan seorang yang jahat sekalipun, bila ia memuja-Ku dengan pengabdian yang terpusatkan, ia harus dianggap sebagai benar, karena ia telah menetapkan yang benar” (IX. 30). “Bahkan mereka yang dilahirkan dari kelahiran penuh dosa, berlindung kepada-Ku, mereka pergi ke tempat kediaman yang tertinggi” (IX. 32). Tak ada hal-hal yang benar-benar sebagai “dosa asli” atau pembawaan jahat dari manusia, karena roh manusia adalah kekal dia 

Bagaikan nyala api yang membakar kayu api menjadi abu, demikian pula api pengetahuan membakar segala karma menjadi abu” (IV.37). Yang dimaksudkan pengetahuan disini adalah realisasi dari sang diri yang tak termusnahkan. Karena tujuan terakhir manusia adalah penyatuan dengan Tuhan, ia melewati satu kehidupan ke kehidupan lainnya, dari satu badan ke badan lainnya, sesuai dengan keinginan dan kegiatannya, hingga ia menghabiskan semua pengalaman yang dihasilkan daripadanya, dan mencapai penyatuan dengan Tuhan. 

Reinkarnasi tak akan berhenti sampai realisasi diri dicapai, karena sang diri abadi mempertahankan dirinya setiap saat dan pribadi tak dapat beristirahat di mana pun jua kecuali dalam realisasinya, yang tak mungkin diperoleh kecuali semua karmanya terbakar habis. Teori Hindù tentang kelahiran kembali dan kekekalan tak ada bandingnya dalam sejarah keagamaan dunia dan itu hanya merupakan penjelasan ilmiah dan memuaskan tentang arti kehidupan. Tanpa penerimaan mendasar tentang sang diri yang kekal, tak ada pengalaman yang dapat dijelaskan atau dipahami dan teori tentang karma hanya merupakan konsekwensi dari dasar kebenaran yang merupakan dasar pokok pemikiran filsafat dan agama.


Cita-cita Kehidupan Sosial

Pribadi dalam masyarakat telah menyesuaikan dirinya pada lingkungannya dalam sinar kesatuan hidup dalam ke-Tuhan-an. Tahapan kehidupan berbeda pada orang yang berbeda dan dharma atau kewajiban mereka dalam kehidupan didasarkan pada tahapan pengembangan pribadi ini. Bhagawad Gìtà mengakui keaneka-ragaman temperamen di antaranya pribadi-pribadi dan akibat penggolongan dari kewajiban-kewajiban yang cocok terhadap tahapan evolusi mereka yang menentukan Guóa dan Karma mereka. Di seluruh negara terdapat para filsuf dan pengemban masalah spiritual, yang aktif dan militan, penggemar usaha dan dagang, dan masyarakat pekerja harian yang secara alami bergantung pada pekerjaan tangan. 

Perbedaan ini tidak secara sengaja diciptakan dengan berbagai motif di belakangnya, tetapi hal ini menyatakan sistem sosial yang mengarah keluar, yang menunjukkan pembawaan dalam dari makhluk manusia. Swadharma adalah kewajiban yang ditentukan pada seseorang yang sesuai dengan tahapan kehidupan di mana ia ditempatkan, bukan oleh orang perorang, tetapi oleh karakteristik batinnya sendiri yang ia wujudkan dalam kebiasaan dan kegiatannya sehari-hari. Empat golongan sosial dimaksudkan untuk memastikan suatu kesatuan dan persahabatan yang bahagia dan saling mengasihi diantara semua orang yang dikarenakan kecenderungan-kecenderungan mereka yang tetap ada menunjukkan kesesuaian mereka terhadap berbagai aktivitas dalam kehidupan dan bukan suatu penyamaan umum dalam pemikiran dan perbuatan. 

Tidak mungkin bagi semua orang laki-laki dan semua orang perempuan untuk berpikir dan berbuat serupa. Jenis penyamaan ini bukan dibiasakan pada inti kehidupan di dunia ini. Kehidupan merupakan suatu peragaan dari kemajemukan golongan makhluk dan keempat kelompok orang-orang tadi merupakan suatu pembagian luas dari sifat dan kemampuan mental bagi pengetahuan dan kegiatan. Kebaikan sosial tergantung pada pengaturan masyarakat selayaknya, bukan hanya oleh paksaan dari pengurus, tetapi oleh suatu pengertian cinta kasih dari posisinya sendiri, masing-masing bagi dirinya sendiri, dan penempatan dirinya pada kedudukan tertentu yang ia maksudkan sendiri, sesuai dengan aturan bathin penguasa sifat-sifatnya. Anggota masyarakat saling bergantung dan kesejahteraan mereka diperlihatkan oleh penggolongan sosial yang berhubungan dengan sifat-sifat dan kegiatan yang bersesuaian (guóa-karma-wibhàga). Pemeliharaan dari budaya India yang tua itu dapat diperlengkapi pada skema kehidupan bijaksana yang didasarkan pada hukum alam dan dikuatkan oleh dorongan dari sifat bathin dalam diri manusia.

Tidak diragukan lagi, bahwa Gìtà merupakan suatu eksponen penting dari cita-cita sosial dan persaudaraan universal. Bagaimana pun juga, perlu dicatat dalam hal ini bahwa kehidupan pribadi, keluarga, sosial, universal dan kehidupan Tuhan tak dapat dipisahkan secara tegas satu dengan yang lainnya, tetapi hal ini hanya menunjukkan tahapan dari pertumbuhan pribadi menuju realisasi kesempurnaan Tuhan. Persaudaraan hanya berarti apabila ditanamkan pada ke-diri-an atau kesatuan. Dharma atau kebenaran menun­jukkan kebaikan masyarakat, dan alam semesta merupakan masyarakat besar dari makhluk-makhluk yang mendiami bagian-bagian yang berbeda. 

Mereka yang melihat kesejahteraan masyarakat tak dapat berbuat demikian dengan melupakan kenyataan bahwa masyarakat ada di dalam alam semesta yang merupakan keseluruhan yang integral, suatu penyelarasan terhadap hukum-hukum yang diperlukan baik bagi kebaikan pribadi maupun kebaikan sosial. Alam semesta juga bukanlah suatu pernyataan diri kebenaran dalam dirinya, tetapi merupakan pernyataan dari keselarasan dan realitas yang ada pada keberadaan tertinggi. ‘Bila seseorang mewujudkan keragaman makhluk terpusatkan pada Yang Esa, dan telah terpancar dari Dia saja, maka ia mencapai Brahman’ (XIII. 30). 

Dharma dari realitas ini merupakan standard, dengan cara itu, dharma-dharma dari alam semesta, masyarakat, keluarga dan pribadi ditetapkan. Karena realitas Brahman tak dapat dipisahkan, cinta kasih univer­sal dan absennya keakuan dan keterikatan, menjadi Dharma alam semesta dan segala isinya. Semua makhluk secara adil dicintai dan tanpa kegilaan, karena kenyataan dari keberadaan semua makhluk adalah satu diri yang mutlak. Kebajikan-kebajikan yang mesti diusahakan seperti yang disebutkan satu persatu dalam Gìtà, khususnya pada bab 13 dan 16, merupakan kwalifikasi atau kondisi yang harus ada guna tuntunan kehidupan bahagia, baik, mulia dan spiritual, baik bagi pribadi maupun masyarakat. Melalui pemilikan kebajikan Tuhan, ketahanan moral dan kekuatan spiritual bathin. Kebinatangan dalam diri manusia terkuasai dan prinsip kefanaan di dalam tersingkapkan.

Cita-cita etika sosial dari Gìtà adalah Loka-Saýgraha, yaitu kesejahteraan dunia dan solidaritas dunia. Hal ini ditimbulkan oleh tiap-tiap pribadi melalui pelaksanaan swadharma dalam semangat tidak terikat dan penyerahan diri dan dengan pengetahuan tentang sifat àtman yang tak berubah. Tujuan swadharma, pada saat yang sama, adalah pada Sarwabhùtahita atau kebaikan semua makhluk. Susunan masyarakat ditentukan sedemikian rupa untuk membantu para anggota masyarakatnya untuk mewujudkan cita-cita kehidupan tertinggi. Karena semua makhluk mengambil bagian satu kehidupan yang merupakan keseluruhan dan dari padanya mereka merupakan bagian-bagian, perkembangan mereka dipertahankan dalam keberadaannya dalam keselarasan dengan kehidupan tersebut. 

Kesempurnaan bagian-bagian tersebut merupakan kesatuan dari keseluruhannya. Cinta kasih timbal balik dan pelaksanaan kewajiban dalam kesetiaan terhadap keseluruhan adalah cara untuk keselamatan pribadi dan masyarakat. Bila tiap-tiap orang melakukan kewajiban sendiri tanpa keengganan atau keinginan dalam pikirannya, kesejahteraan masyarakat dapat dipastikan, karena kapan pun dan dimana pun kegiatan bercampur dengan pengetahuan tentang tujuan Tuhan yang ada di balik alam semesta yang tak terlihat ini, di sana akan ada kemakmuran, kemenangan, kemuliaan dan kebijaksanaan yang mantap’ (XVI 11.78) Gìtà menyatakan bahwa úàstra-úàstra hendaknya dipakai sebagai otoritas dalam menentukan perilaku manusia yang menunjukkan bahwa masyarakat bersandar pada dasar prinsip moralitas dan spiritualitas yang abadi.

Kehidupan yang terutama merupakan suatu pemujaan Tuhan. Kegiatan di dunia ini sesungguhnya merupakan persembahan wiraþ atau wiúwarùpa Tuhan. Pribadi-pribadi merupakan “Nimittamàtra” atau sekedar alat dalam pemenuhan hukum-hukum Tuhan. Kehidupan adalah sebuah Yajña, suatu pengorbanan suci, dan alam semesta yang merupakan dharmakûetra atau medan kebajikan merupakan altar tempat sang pribadi mempersembahkan dirinya kepada keberadaan Tuhan. Dharma yang merupakan nilai ethika penguasa pribadi memuliakannya pada mokûa yang merupakan nilai tak terbatas dan tujuan kehidupan. Setiap orang hendaknya menyesuaikan pada dharma yang menopang kehidupan dan yang akan melindunginya melalui pelaksanaan kesabaran. Tuhan sendiri adalah “ÚÀÚVATA-DHARMA-GOPTÀ” atau pelindung dari dharma abadi. Dharma merupakan sumber dari kesejah­teraan material dan spiritual, tempat artha kàma dan mokûa memiliki dasarnya dalam penyelidikan tentang dharma. 

Realisasi Tuhan merupakan dharma tertinggi dari semua makhluk dan semua dharma yang lainnya patuh terhadapnya. Kesatuan terakhir dari semuanya dalam Tuhan harus diwujudkan di seluruh alam semesta (Vl.29.30). Seluruh keberadaan merupakan satu kebenaran kehidupan sadar dari Tuhan yang meresapinya di dalam dan di luar dan yang kedua darinya tak akan pernah terjadi (Xl.4.5). Segala pemikiran dan perbuatan hendaknya disesuaikan dengan cita-cita yang mutlak ini. Hanya apabila kehidupan dihidupkan dengan semangat mulia dari persembahan diri pada kesejahteraan umum dan tertinggi yang mestinya diwujudkan pada Tuhan saja dan tidak ke mana-mana, kebahagiaan masyarakat diselamatkan. Apabila tujuan dilupakan, kehidupan menjadi suatu mala petaka. Bila kehidupan didirikan pada kebajikan dan pengetahuan dan kesadaran tentang realisasi tertinggi, ia akan menjadi kehidupan Tuhan.


Manusia Dari Budaya Sebenarnya

Tujuan Gìtà tentang manusia dari budaya yang sebenarnya adalah Sthitaprajña, Bhàgavata atau Guóàtìta; yang merupakan buah matang dari Bunga budaya yang indah. Ia merupakan manusia sempurna yang tidak mengikuti pengejaran indriya-indriya, tetapi melenyapkan semua keinginan dari pikiran dan dipuaskan dalam sang diri oleh diri (II.55). Ia merupakan orang dari kebijaksanaan yang mantap, yang tidak memiliki rasa kasih maupun benci, yang kerinduannya telah dialihkan, disebabkan pandangan tentang yang tertinggi, yang hari siangnya merupakan malam kegelapan, di situ semua keinginan masuk seperti air yang memasuki lautan yang dipenuhi dari segala sisi namun tetap tak bergerak, yang telah mencapai kedamaian dan yang bersandar pada Brahmì Sthiti (11.55.57.59.69.70.72)

Kebahagiaannya ada di dalam, persantaiannya di dalam, sinar di dalam; ia melihat Yang Esa pada semuanya dan semuanya pada Yang Esa dan pandangannya yang sama tidak membuat perbedaan antara yang tinggi dan rendah. Ia selalu sadar akan kehadiran Tuhan dan ia tak pernah terpisah dari Tuhan. Walaupun ia tidak menginginkan sesuatu bagi dirinya, ia bekerja demi kesejahteraan alam semesta, agar memberi contoh kepada yang lainnya. Gagasan tentang tujuan dari budaya dapat dimiliki dari contoh manusia yang hebat tentang realisasi yang ciri-cirinya diuraikan dalam bab-bab ke-2, 5, 6,12,14, dari Gìtà dan yang membantu sebagai pola, di situ setiap orang yang berbudaya berusaha membentuk dirinya agar mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan dalam keseragaman Brahman (Sàman Brahma).


Amanat Dari Bhagawad Gìtà

Bhagawad Gìtà merupakan suatu amanat yang indah tentang harapan, hiburan kedamaian dan di atas segalanya, adalah ke-Tuhan-an manusia. Ia memecahkan semua permasalahan hidup; memberikan keberanian pada setiap orang dan mengangkat pribadi-pribadi dari kedalaman kemiskinan dan kesengsaraan ke ketinggian dari kekekalan dan kebahagiaan abadi. Ia hadir dalam suatu bentuk ringkas pandangan hidup orang Hindù. Namun kekacauan yang tampak dipermukaan kehidupan manusia, India pada dasarnya memiliki suatu kecenderungan untuk keselarasan dan kesatuan. Orang-orang India merupakan bangsa pencinta kedamaian dan pencinta Tuhan. Orang-orang India yang termasyhur adalah para orang suci, orang-orang bijak dan para Awatàra, yang merupakan pembawa obor dari budayanya. Semua cita-cita keagamaan yang besar yang telah membentuk karakter manusia, ajaran-ajaran yang mulia mengenai etika dan moralitas yang telah membangkitkan manusia ke ketinggian murah hati dari kesempurnaan yang tertinggi dan semua kebenaran spiritualitas yang luhur yang telah membangkitkan manusia kepada ke-Tuhan-an dan mengarahkan kehidupan spiritual bangsa, pertama kali muncul di India. Budaya spiritual India adalah yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap kelangsungan hidup bangsa India, bahkan di tengah-tengah kesengsaraan yang telah mengancamnya pada perjalanan sejarah.

Bhagawad Gìtà merupakan inti dari ajaran-ajaran Upaniûad, yang merupakan ajaran kehidupan beragama yang praktis dari India dan India memberikan resep yang khas ini kepada seluruh dunia guna solidaritas semua makhluk. Úrì Kåûóa adalah manusia sempurna idaman, Tuhan yang mewujudkan dirinya, mengkristalkan sat-cit-ànanda, pùróa awatàra, puncak dari budaya, kebijaksanaan, kekuasaan dan kenikmatan, dan Beliau memberikan Gìtà, amanat dari budaya dan realisasi tertinggi. Ia merupakan kemuliaan abadi India dan dunia secara luas, dan bahwa Gìtà menggembirakan semua orang dengan cita-cita indah mengenai penyatuan manusia dengan Tuhan, bahkan sementara hidup di dunia dan melaksanakan kewajibannya dalam semangat pengorbanan diri, tiada keterikatan dan pasrah diri kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar