Budaya India didasarkan pada Bhagawad Gìtà
Kepercayaan Pada Ketidakterikatan
Intisari
dari budaya yang sesungguhnya bersandar pada keberadaannya, didasarkan pada
pengertian spiritual dari nilai-nilai dan suatu pandangan pada kehidupan.
Pernyataan tentang ke-Tuhan-an yang utama dari manusia merupakan jantung dari
budaya India. Peradaban India bersandar pada pembersihan bathin, pada
pemeliharaan dan pembentangan percikan spiritual dalam diri manusia. India
merupakan tanah spiritualitas dan aspirasi dari setiap orang India yang
sesungguhnya adalah untuk àtma-swaràjya atau kemerdekaan dalam
ke-Tuhan-an yang tertinggi dari sang diri yang dapat dicapai melalui penaklukan
sifat-sifat dalam dan luar, di situ realisasi diri merupakan tujuan dari rakyat
India. Bhagawad Gìtà merupakan satu naskah suci universal dan ia
merupakan pernyataan sesungguhnya yang jelas dari warisan budaya asli bangsa
India.
Gìtà merupakan kepercayaan akan ketidak-terikatan, kekekalan jìwa
dan kemerdekaan akhir dari sang diri dalam kemutlakan. Ia merupakan
ajaran-ajaran sakral tentang semua hal termasuk kebatinan dari jìwa.
Keharusan akan ketidakterikatan mengikuti dari kenyataan tentang kesatuan
keberadaan. Úrì Kåûóa menyatakan bahwa tidak ada keberadaan lain yang
kedua dari padanya. (V11.7). Kebenaran menjadi satu kesatuan hidup dan
keterikatan terhadap wujud luar, nyata-nyata berarti menggantungkan pada
kepalsuan dan pelanggaran akan kebenaran, sehingga hasil yang tak terhindarkan
dari padanya adalah kesengsaraan. “Kenikmatan yang berasal dari hubungan
duniawi hanya merupakan sumber penderitaan” (V.22). Anaúakti menandai
jiwa dari penolakan yang sebenarnya dan aktivitas yang benar dan tidak
membelenggu si pelaku terhadap hasilnya. Budaya yang sesungguhnya cenderung
menuju kebebasan dan hal itu merupakan kemuliaan dari para Waskitawan India
yang dengan kebijaksanaannya dalam merealisir kebebasan dari sang diri abadi di
dalam dan menyatakan kebenaran ini pada dunia.
Ketiadaan
keinginan dan kedamaian batin menandakan penggambaran pembedaan dari budaya
India. Pengetahuan yang mencirikan budaya yang sesungguhnya bukan hanya pelajaran
tetapi juga kebijaksanaan dengan suatu latar belakang etika, yang keluasannya
untuk mana seseorang telah berhasil dalam disiplin moral, menunjukkan kualitas
dari pengetahuannya. Pengetahuan tidak berakhir hanya dengan pemahaman, tetapi
memuncak pada perwujudan kebenaran hidup yang terdalam. Budaya kehidupan
semacam itu tak akan mungkin tanpa kemerdekaan dari prasangka serta keterikatan
dalam pikiran dan perbuatan. Seperti orang bodoh yang bekerja, terikat pada
kegiatan tersebut, demikianlah seharusnya orang bijak bekerja tanpa
keterikatan, dengan pandangan untuk meningkatkan kesejahteraan alam
dunia ini”. (11125).
Kelepasan
sepenuhnya tak akan mungkin tanpa pengetahuan tentang ketidaknyataan terakhir
dari benda-benda yang biasanya muncul dalam hubungannya dengan dan yang berbuat
seperti penyebab keterikatan terhadapnya. Pikiran orang India telah mendapati
kesalahan-kesalahan dalam pandangan lumrah dari kehidupan, yang dianggap oleh
mereka yang memberikan pada bisikan pikiran dan indriya dan telah membawanya
pada pandangan kenyataan dari kesementaraan kehidupan physik di tengah-tengah
obyek-obyek indriyani. Semua filsafat mulai dari kesadaran tentang penderitaan
dan kesakitan serta ketidakseimbangan kehidupan dalam dunia indriya. Para wiweki
mencari pembebasan dari pemenjaraan dalam kehidupan duniawi dan tidak memakukan
keyakinannya pada hal-hal yang dapat lenyap. Gìtà menunjukkan bahwa
dunia ini adalah ‘Anityam’, ‘Asukham’, ‘Duákhalayam’ dan ‘Aúàúwatam’.
Bila pembedaan ini turun pada diri seseorang, ia menjadi tanpa keinginan dan
tidak terikat pada apa pun juga.
Kesempurnaan
Tuhan di dalam memperlihatkan kekerdilan dari kehidupan luar dan si pencari
kesempurnaan tidak menggantungkannya pada penampakan yang cepat berlalu. Budaya
di India adalah synonim dengan mekarnya kecakapan akan kesadaran agama dan
spiritual tanpa itu manusia sangat sedikit keunggulannya terhadap
makhluk-makhluk yang hanya mengandalkan naluri saja. Gìtà memerintahkan
penolakan dari kepercayaan pada dan menginginkan bentuk-bentuk luar, dan
memperingatkan bahwa tak seorang pun yang ingat akan kedamaian abadi akan
berpikir dan berbuat dengan motif kepentingan sendiri atau dengan suatu gejala
tertentu yang akhirnya tampak “Mantapkanlah dalam yoga, laksanakan kegiatan,
lepaskan keterikatan’.
Jadi
untuk berbuat, tanpa ‘Saòga’ dan untuk menyatakan ke dalam dengan
Tuhan, walaupun sedang berbuat di dunia ini, adalah apa yang ditekankan Gìtà
sebagai seni kehidupan yang benar dan jalan menuju kedamaian baik di sini
maupun di dunia sana. Setiap usaha yang dipakai untuk menuju pencapaian akhir
ini memiliki pengaruhnya sendiri yang tak dapat dibasmi. ‘Tak ada usaha yang
di sia-sia di sini atau pun hasil yang berlawanan. Walaupun sedikit
(pelaksanaan) dharma ini akan melepaskannya dari kengerian yang hebat
(11.40). Tak ada usaha yang sia-sia; Setiap usaha akan membawa pada suatu
penyesuaian akibat, karena sang roh adalah abadi.
Kekekalan Dari Jìwa
Kebenaran
utama yang dipegang orang-orang India dan yang tak pernah mereka lupakan atau
tidak mempercayainya adalah kekekalan dari roh dan kelanjutan kehidupan sesudah
kematian. Gìtà, pada awal sekali menjelaskan bahwa Àtman tak dapat di
hancurkan. ‘Ketahuilah yang tak dapat dihancurkan ini, menyusupi segalanya,
tak seorangpun dapat memusnahkannya, yang tak termusnahkan. Ia tidak dilahirkan
dan tidak akan pernah mati; juga setelah ada tak akan berhenti adanya; tak
terlahirkan, abadi, kekal selamanya, ia tak akan terbunuh walaupun badan
terbunuh’ (II. 17.20). Tak ada sesuatu apa pun yang lebih mulia daripada pengakuan
tentang kenyataan yang tertinggi ini.
Pengetahuan yang menyelamatkan ini
benar-benar nafas kehidupan bangsa India, penghibur umat manusia dan perwujudan
dari yang mutlak dalam wujud Úrì Kåûóa menyabdakannya kepada Arjuna
yang merupakan wakil umat manusia itu sendiri. Budaya India diresapi seluruhnya
dan dipengaruhi langsung oleh kepercayaan yang tak tergoyahkan pada kekekalan
dan ke-ilahi-an jiwa pada manusia. Bagi orang-orang Hindù dunia pengalaman
empiris itu tidak nyata adanya, tetapi Àtman atau Brahman adalah
realitas. Mereka tidak memiliki kepercayaan pada alam yang tidak tetap ini,
tetapi mereka percaya sepenuhnya pada keberadaan abadi.
Tuhan-lah yang menjadi
tujuan mereka dan alam dunia ini hanyalah suatu pelaluan atau satu tahapan,
hanya satu cara dan bukan akhir dari pengalaman. Gìtà merupakan amanat dari
kehidupan transenden, yang di dalam dirinya terangkum seluruh alam semesta yang
tampak pada suatu sinar yang sama sekali baru. Setiap pribadi dapat memiliki
pengalaman ini, walaupun orang-orang kejam dan berdosa sekalipun, memiliki
harapan untuk itu.
“Bahkan seorang yang jahat sekalipun, bila ia memuja-Ku
dengan pengabdian yang terpusatkan, ia harus dianggap sebagai benar, karena ia
telah menetapkan yang benar” (IX. 30). “Bahkan mereka yang dilahirkan
dari kelahiran penuh dosa, berlindung kepada-Ku, mereka pergi ke tempat
kediaman yang tertinggi” (IX. 32). Tak ada hal-hal yang benar-benar sebagai
“dosa asli” atau pembawaan jahat dari manusia, karena roh manusia adalah kekal
dia
“Bagaikan nyala api yang membakar kayu api menjadi abu, demikian
pula api pengetahuan membakar segala karma menjadi abu” (IV.37). Yang
dimaksudkan pengetahuan disini adalah realisasi dari sang diri yang tak
termusnahkan. Karena tujuan terakhir manusia adalah penyatuan dengan Tuhan, ia
melewati satu kehidupan ke kehidupan lainnya, dari satu badan ke badan lainnya,
sesuai dengan keinginan dan kegiatannya, hingga ia menghabiskan semua
pengalaman yang dihasilkan daripadanya, dan mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Reinkarnasi tak akan berhenti sampai realisasi diri dicapai, karena sang diri
abadi mempertahankan dirinya setiap saat dan pribadi tak dapat beristirahat di
mana pun jua kecuali dalam realisasinya, yang tak mungkin diperoleh kecuali
semua karmanya terbakar habis. Teori Hindù tentang kelahiran kembali dan
kekekalan tak ada bandingnya dalam sejarah keagamaan dunia dan itu hanya
merupakan penjelasan ilmiah dan memuaskan tentang arti kehidupan. Tanpa
penerimaan mendasar tentang sang diri yang kekal, tak ada pengalaman yang dapat
dijelaskan atau dipahami dan teori tentang karma hanya merupakan konsekwensi
dari dasar kebenaran yang merupakan dasar pokok pemikiran filsafat dan agama.
Cita-cita Kehidupan Sosial
Pribadi
dalam masyarakat telah menyesuaikan dirinya pada lingkungannya dalam sinar
kesatuan hidup dalam ke-Tuhan-an. Tahapan kehidupan berbeda pada orang yang
berbeda dan dharma atau kewajiban mereka dalam kehidupan didasarkan pada
tahapan pengembangan pribadi ini. Bhagawad Gìtà mengakui keaneka-ragaman
temperamen di antaranya pribadi-pribadi dan akibat penggolongan dari
kewajiban-kewajiban yang cocok terhadap tahapan evolusi mereka yang menentukan Guóa
dan Karma mereka. Di seluruh negara terdapat para filsuf dan pengemban
masalah spiritual, yang aktif dan militan, penggemar usaha dan dagang, dan
masyarakat pekerja harian yang secara alami bergantung pada pekerjaan tangan.
Perbedaan ini tidak secara sengaja diciptakan dengan berbagai motif di
belakangnya, tetapi hal ini menyatakan sistem sosial yang mengarah keluar, yang
menunjukkan pembawaan dalam dari makhluk manusia. Swadharma adalah
kewajiban yang ditentukan pada seseorang yang sesuai dengan tahapan kehidupan
di mana ia ditempatkan, bukan oleh orang perorang, tetapi oleh karakteristik
batinnya sendiri yang ia wujudkan dalam kebiasaan dan kegiatannya sehari-hari.
Empat golongan sosial dimaksudkan untuk memastikan suatu kesatuan dan
persahabatan yang bahagia dan saling mengasihi diantara semua orang yang
dikarenakan kecenderungan-kecenderungan mereka yang tetap ada menunjukkan
kesesuaian mereka terhadap berbagai aktivitas dalam kehidupan dan bukan suatu
penyamaan umum dalam pemikiran dan perbuatan.
Tidak mungkin bagi semua orang
laki-laki dan semua orang perempuan untuk berpikir dan berbuat serupa. Jenis
penyamaan ini bukan dibiasakan pada inti kehidupan di dunia ini. Kehidupan
merupakan suatu peragaan dari kemajemukan golongan makhluk dan keempat kelompok
orang-orang tadi merupakan suatu pembagian luas dari sifat dan kemampuan mental
bagi pengetahuan dan kegiatan. Kebaikan sosial tergantung pada pengaturan
masyarakat selayaknya, bukan hanya oleh paksaan dari pengurus, tetapi oleh
suatu pengertian cinta kasih dari posisinya sendiri, masing-masing bagi dirinya
sendiri, dan penempatan dirinya pada kedudukan tertentu yang ia maksudkan
sendiri, sesuai dengan aturan bathin penguasa sifat-sifatnya. Anggota
masyarakat saling bergantung dan kesejahteraan mereka diperlihatkan oleh
penggolongan sosial yang berhubungan dengan sifat-sifat dan kegiatan yang
bersesuaian (guóa-karma-wibhàga). Pemeliharaan dari budaya India yang
tua itu dapat diperlengkapi pada skema kehidupan bijaksana yang didasarkan pada
hukum alam dan dikuatkan oleh dorongan dari sifat bathin dalam diri manusia.
Tidak
diragukan lagi, bahwa Gìtà merupakan suatu eksponen penting dari cita-cita
sosial dan persaudaraan universal. Bagaimana pun juga, perlu dicatat dalam hal
ini bahwa kehidupan pribadi, keluarga, sosial, universal dan kehidupan Tuhan
tak dapat dipisahkan secara tegas satu dengan yang lainnya, tetapi hal ini hanya
menunjukkan tahapan dari pertumbuhan pribadi menuju realisasi kesempurnaan
Tuhan. Persaudaraan hanya berarti apabila ditanamkan pada ke-diri-an atau
kesatuan. Dharma atau kebenaran menunjukkan kebaikan masyarakat, dan
alam semesta merupakan masyarakat besar dari makhluk-makhluk yang mendiami
bagian-bagian yang berbeda.
Mereka yang melihat kesejahteraan masyarakat tak
dapat berbuat demikian dengan melupakan kenyataan bahwa masyarakat ada di dalam
alam semesta yang merupakan keseluruhan yang integral, suatu penyelarasan
terhadap hukum-hukum yang diperlukan baik bagi kebaikan pribadi maupun kebaikan
sosial. Alam semesta juga bukanlah suatu pernyataan diri kebenaran dalam
dirinya, tetapi merupakan pernyataan dari keselarasan dan realitas yang ada
pada keberadaan tertinggi. ‘Bila seseorang mewujudkan keragaman makhluk
terpusatkan pada Yang Esa, dan telah terpancar dari Dia saja, maka ia mencapai
Brahman’ (XIII. 30).
Dharma dari realitas ini merupakan standard,
dengan cara itu, dharma-dharma dari alam semesta, masyarakat, keluarga
dan pribadi ditetapkan. Karena realitas Brahman tak dapat dipisahkan,
cinta kasih universal dan absennya keakuan dan keterikatan, menjadi Dharma
alam semesta dan segala isinya. Semua makhluk secara adil dicintai dan tanpa
kegilaan, karena kenyataan dari keberadaan semua makhluk adalah satu diri yang
mutlak. Kebajikan-kebajikan yang mesti diusahakan seperti yang disebutkan satu
persatu dalam Gìtà, khususnya pada bab 13 dan 16, merupakan kwalifikasi
atau kondisi yang harus ada guna tuntunan kehidupan bahagia, baik, mulia dan
spiritual, baik bagi pribadi maupun masyarakat. Melalui pemilikan kebajikan
Tuhan, ketahanan moral dan kekuatan spiritual bathin. Kebinatangan dalam diri
manusia terkuasai dan prinsip kefanaan di dalam tersingkapkan.
Cita-cita
etika sosial dari Gìtà adalah Loka-Saýgraha, yaitu kesejahteraan dunia
dan solidaritas dunia. Hal ini ditimbulkan oleh tiap-tiap pribadi melalui
pelaksanaan swadharma dalam semangat tidak terikat dan penyerahan diri
dan dengan pengetahuan tentang sifat àtman yang tak berubah. Tujuan swadharma,
pada saat yang sama, adalah pada Sarwabhùtahita atau kebaikan semua
makhluk. Susunan masyarakat ditentukan sedemikian rupa untuk membantu para
anggota masyarakatnya untuk mewujudkan cita-cita kehidupan tertinggi. Karena
semua makhluk mengambil bagian satu kehidupan yang merupakan keseluruhan dan
dari padanya mereka merupakan bagian-bagian, perkembangan mereka dipertahankan
dalam keberadaannya dalam keselarasan dengan kehidupan tersebut.
Kesempurnaan
bagian-bagian tersebut merupakan kesatuan dari keseluruhannya. Cinta kasih
timbal balik dan pelaksanaan kewajiban dalam kesetiaan terhadap keseluruhan
adalah cara untuk keselamatan pribadi dan masyarakat. Bila tiap-tiap orang
melakukan kewajiban sendiri tanpa keengganan atau keinginan dalam pikirannya,
kesejahteraan masyarakat dapat dipastikan, karena kapan pun dan dimana pun
kegiatan bercampur dengan pengetahuan tentang tujuan Tuhan yang ada di balik
alam semesta yang tak terlihat ini, di sana akan ada kemakmuran, kemenangan,
kemuliaan dan kebijaksanaan yang mantap’ (XVI 11.78) Gìtà menyatakan
bahwa úàstra-úàstra hendaknya dipakai sebagai otoritas dalam menentukan
perilaku manusia yang menunjukkan bahwa masyarakat bersandar pada dasar prinsip
moralitas dan spiritualitas yang abadi.
Kehidupan
yang terutama merupakan suatu pemujaan Tuhan. Kegiatan di dunia ini
sesungguhnya merupakan persembahan wiraþ atau wiúwarùpa Tuhan.
Pribadi-pribadi merupakan “Nimittamàtra” atau sekedar alat dalam pemenuhan
hukum-hukum Tuhan. Kehidupan adalah sebuah Yajña, suatu pengorbanan suci, dan
alam semesta yang merupakan dharmakûetra atau medan kebajikan merupakan
altar tempat sang pribadi mempersembahkan dirinya kepada keberadaan Tuhan.
Dharma yang merupakan nilai ethika penguasa pribadi memuliakannya pada mokûa
yang merupakan nilai tak terbatas dan tujuan kehidupan. Setiap orang hendaknya
menyesuaikan pada dharma yang menopang kehidupan dan yang akan
melindunginya melalui pelaksanaan kesabaran. Tuhan sendiri adalah “ÚÀÚVATA-DHARMA-GOPTÀ”
atau pelindung dari dharma abadi. Dharma merupakan sumber dari
kesejahteraan material dan spiritual, tempat artha kàma dan mokûa
memiliki dasarnya dalam penyelidikan tentang dharma.
Realisasi Tuhan
merupakan dharma tertinggi dari semua makhluk dan semua dharma
yang lainnya patuh terhadapnya. Kesatuan terakhir dari semuanya dalam Tuhan
harus diwujudkan di seluruh alam semesta (Vl.29.30). Seluruh keberadaan
merupakan satu kebenaran kehidupan sadar dari Tuhan yang meresapinya di dalam
dan di luar dan yang kedua darinya tak akan pernah terjadi (Xl.4.5). Segala
pemikiran dan perbuatan hendaknya disesuaikan dengan cita-cita yang mutlak ini.
Hanya apabila kehidupan dihidupkan dengan semangat mulia dari persembahan diri
pada kesejahteraan umum dan tertinggi yang mestinya diwujudkan pada Tuhan saja
dan tidak ke mana-mana, kebahagiaan masyarakat diselamatkan. Apabila tujuan
dilupakan, kehidupan menjadi suatu mala petaka. Bila kehidupan didirikan pada
kebajikan dan pengetahuan dan kesadaran tentang realisasi tertinggi, ia akan
menjadi kehidupan Tuhan.
Manusia Dari Budaya Sebenarnya
Tujuan
Gìtà tentang manusia dari budaya yang sebenarnya adalah Sthitaprajña,
Bhàgavata atau Guóàtìta; yang merupakan buah matang dari Bunga
budaya yang indah. Ia merupakan manusia sempurna yang tidak mengikuti
pengejaran indriya-indriya, tetapi melenyapkan semua keinginan dari pikiran dan
dipuaskan dalam sang diri oleh diri (II.55). Ia merupakan orang dari
kebijaksanaan yang mantap, yang tidak memiliki rasa kasih maupun benci, yang
kerinduannya telah dialihkan, disebabkan pandangan tentang yang tertinggi, yang
hari siangnya merupakan malam kegelapan, di situ semua keinginan masuk seperti
air yang memasuki lautan yang dipenuhi dari segala sisi namun tetap tak
bergerak, yang telah mencapai kedamaian dan yang bersandar pada Brahmì
Sthiti (11.55.57.59.69.70.72)
Kebahagiaannya
ada di dalam, persantaiannya di dalam, sinar di dalam; ia melihat Yang Esa pada
semuanya dan semuanya pada Yang Esa dan pandangannya yang sama tidak membuat
perbedaan antara yang tinggi dan rendah. Ia selalu sadar akan kehadiran Tuhan
dan ia tak pernah terpisah dari Tuhan. Walaupun ia tidak menginginkan sesuatu
bagi dirinya, ia bekerja demi kesejahteraan alam semesta, agar memberi contoh
kepada yang lainnya. Gagasan tentang tujuan dari budaya dapat dimiliki dari
contoh manusia yang hebat tentang realisasi yang ciri-cirinya diuraikan dalam
bab-bab ke-2, 5, 6,12,14, dari Gìtà dan yang membantu sebagai pola, di situ
setiap orang yang berbudaya berusaha membentuk dirinya agar mencapai kesempurnaan
dan kebahagiaan dalam keseragaman Brahman (Sàman Brahma).
Amanat Dari Bhagawad Gìtà
Bhagawad
Gìtà merupakan suatu amanat yang indah
tentang harapan, hiburan kedamaian dan di atas segalanya, adalah ke-Tuhan-an
manusia. Ia memecahkan semua permasalahan hidup; memberikan keberanian pada
setiap orang dan mengangkat pribadi-pribadi dari kedalaman kemiskinan dan
kesengsaraan ke ketinggian dari kekekalan dan kebahagiaan abadi. Ia hadir dalam
suatu bentuk ringkas pandangan hidup orang Hindù. Namun kekacauan yang tampak
dipermukaan kehidupan manusia, India pada dasarnya memiliki suatu kecenderungan
untuk keselarasan dan kesatuan. Orang-orang India merupakan bangsa pencinta
kedamaian dan pencinta Tuhan. Orang-orang India yang termasyhur adalah para
orang suci, orang-orang bijak dan para Awatàra, yang merupakan pembawa
obor dari budayanya. Semua cita-cita keagamaan yang besar yang telah membentuk
karakter manusia, ajaran-ajaran yang mulia mengenai etika dan moralitas yang
telah membangkitkan manusia ke ketinggian murah hati dari kesempurnaan yang
tertinggi dan semua kebenaran spiritualitas yang luhur yang telah membangkitkan
manusia kepada ke-Tuhan-an dan mengarahkan kehidupan spiritual bangsa, pertama
kali muncul di India. Budaya spiritual India adalah yang dapat
dipertanggung-jawabkan terhadap kelangsungan hidup bangsa India, bahkan di
tengah-tengah kesengsaraan yang telah mengancamnya pada perjalanan sejarah.
Bhagawad
Gìtà merupakan inti dari ajaran-ajaran Upaniûad,
yang merupakan ajaran kehidupan beragama yang praktis dari India dan India
memberikan resep yang khas ini kepada seluruh dunia guna solidaritas semua
makhluk. Úrì Kåûóa adalah manusia sempurna idaman, Tuhan yang mewujudkan
dirinya, mengkristalkan sat-cit-ànanda, pùróa awatàra, puncak dari
budaya, kebijaksanaan, kekuasaan dan kenikmatan, dan Beliau memberikan Gìtà,
amanat dari budaya dan realisasi tertinggi. Ia merupakan kemuliaan abadi
India dan dunia secara luas, dan bahwa Gìtà menggembirakan semua orang
dengan cita-cita indah mengenai penyatuan manusia dengan Tuhan, bahkan
sementara hidup di dunia dan melaksanakan kewajibannya dalam semangat
pengorbanan diri, tiada keterikatan dan pasrah diri kepada Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar